Profil
Nama Resmi
|
:
|
Kabupaten Lampung Barat
|
Ibukota
|
:
|
Liwa
|
Provinsi
|
:
|
Lampung
|
Batas Wilayah
|
:
|
Utara: Provinsi Bengkulu dan Provinsi Sumatera Selatan
Selatan: Samudera Hindia dan Selat Sunda Barat: Samudera Hindia Timur: Kabupaten Lampung Utara |
Luas Wilayah
|
:
|
5.050,01 km²
|
Jumlah Penduduk
|
:
|
421.878 jiwa
|
Wilayah Administrasi
|
:
|
Kecamatan : 17, Kelurahan : 6, Desa : 248
|
Website
|
:
|
http://lampungbarat.go.id
|
(Permendagri No.66 Tahun 2011)
Sejarah
Kabupaten Lampug Barat adalah salah satu
pemekaran dari Lampung utara, yag ber Ibukota di Liwa. Pemilihan Liwa sebagai
ibu kota Kabupaten Lampung Barat memang tepat. Beberapa alasan memperkuat
pernyataan ini adalah :
- tempatnya strategis karena berada di tengah-tengah wilayah Lampung Barat, sehingga untuk melakukan pengawasan terhadap seluruh daerah Lampung Barat oleh pemerintah kabupaten akan relatif efektif
- Liwa merupakan persimpangan lalu lintas jalan darat dari berbagai arah yaitu Sumatra Selatan, Bengkulu, dan Lampung sendiri Tentang asal-usul nama Liwa, menurut cerita orang, berasal dari kata-kata "meli iwa" (bahasa Lampung), artinya membeli ikan. Konon dahulunya Liwa merupakan daerah yang subur, persawahan yang luas, sehingga hasil pertaniannya melimpah. Liwa juga nama salah satu marga dari 84 marga di Lampung.
Skala Beghak, Asal Muasal.
Sekala Beghak (biasa ditulis Skala
Brak), adalah kawasan yang sampai kini dapat disaksikan warisan peradabannya.
Kawasan ini boleh dibilang kawasan yang “sudah hidup” sejak masa pra-sejarah.
Batu-batu menhir mensitus dan tersebar di sejumlah titik di Lampung Barat.
Bukti, ada tanda kehidupan menyejarah.
Sebuah batu prasasti di Bunuk Tenuar, Liwa berangka tahun 966 Saka atau tahun 1074 Masehi, menunjukkan ada jejak Hindu di kawasan tersebut. Bahkan di tengah rimba ditemukan bekas parit dan jalan Zaman Hindu. Ada lagi disebut-sebut bahwa Kenali yang dikenal sekarang sebagai ibukota Kecamatan Belunguh, adalah bekas kerajaan bernama “Kendali” dengan “Raja Sapalananlinda” sebagaimana disebut dalam “Kitab Tiongkok Kuno”. Kata “Sapalananlinda” oleh L.C. Westenenk ditafsir sebagai berasal dari kata “Sribaginda” dalam pengucapan dan telinga orang Cina. Jadi bukan nama orang tapi gelar penyebutan. Buku itu konon juga menyebut, bahwa Kendali itu berada di antara Jawa dan Siam-Kamboja. Kitab itu, menyebut angka tahun antara 454 – 464 Masehi. Kitab ini telah disalin ke dalam bahasa Inggris oleh Groenevelt (Wikipedia Indonesi, 2007).
Sebuah batu prasasti di Bunuk Tenuar, Liwa berangka tahun 966 Saka atau tahun 1074 Masehi, menunjukkan ada jejak Hindu di kawasan tersebut. Bahkan di tengah rimba ditemukan bekas parit dan jalan Zaman Hindu. Ada lagi disebut-sebut bahwa Kenali yang dikenal sekarang sebagai ibukota Kecamatan Belunguh, adalah bekas kerajaan bernama “Kendali” dengan “Raja Sapalananlinda” sebagaimana disebut dalam “Kitab Tiongkok Kuno”. Kata “Sapalananlinda” oleh L.C. Westenenk ditafsir sebagai berasal dari kata “Sribaginda” dalam pengucapan dan telinga orang Cina. Jadi bukan nama orang tapi gelar penyebutan. Buku itu konon juga menyebut, bahwa Kendali itu berada di antara Jawa dan Siam-Kamboja. Kitab itu, menyebut angka tahun antara 454 – 464 Masehi. Kitab ini telah disalin ke dalam bahasa Inggris oleh Groenevelt (Wikipedia Indonesi, 2007).
Meski belum seluruhnya terbaca, namun
dapat disimpulkan: di situ tercatat suatu peradaban panjang. Suatu kawasan tua
yang mencatatkan diri dalam sejarah umat manusia. Di wilayah ini pula pernah
berdiri sebuah kerajaan. Ada yang menyebut kerajaan tersebut adalah Kerajaan
Tulang Bawang, namun bukti-bukti keberadaannya sulit ditemukan. Sedang
keyakinan yang terus hidup dan dipertahankan masyarakat khususnya di Lampung
Barat serta keturunan mereka yang tersebar hingga seluruh wilayah Sumatera
Selatan, menyebutkan Kerajaan Skala Beghak. Pendapat ini juga disokong oleh
keberadaan para raja yang bergelar Sai Batin, hingga bukti-bukti bangunan dan
alat-alat kebesaran kerajaan, upacara dan seni tradisi yang masih terjaga.
Masih banyak bukti lain, namun perlu pembahasan terpisah.
Kalau membaca peta Propinsi Lampung sekarang, kisaran lokasi pusat Sekala Beghak berada di hampir seluruh wilayah Kabupaten Lampung Barat, sebagian Kecamatan Banding Agung Kabupaten Ogan Komering Ulu, Propinsi Sumatera Selatan. “Pusat kerajaan” meliputi daerah pegunungan di lereng Gunung Pesagi di daerah Liwa, seputar Kecamatan Batu Brak, Kecamatan Sukau, Kecamatan Belalau dan Kecamatan Balik Bukit.
Kalau membaca peta Propinsi Lampung sekarang, kisaran lokasi pusat Sekala Beghak berada di hampir seluruh wilayah Kabupaten Lampung Barat, sebagian Kecamatan Banding Agung Kabupaten Ogan Komering Ulu, Propinsi Sumatera Selatan. “Pusat kerajaan” meliputi daerah pegunungan di lereng Gunung Pesagi di daerah Liwa, seputar Kecamatan Batu Brak, Kecamatan Sukau, Kecamatan Belalau dan Kecamatan Balik Bukit.
Sebagai kesatuan politik Kerajaan Sekala
Beghak telah berakhir. Tetapi, sebagai kesatuan budaya (cultural based)
keber¬adaannya turun temurun tewarisi melalui sejarah panjang yang menggurat
kuat dan terbaca makna-maknanya hingga saat ini. Sekala Beghak dalam gelaran
peta Tanah Lampung, pastilah tertoreh warna tegas, termasuk sebaran pengaruh
kebudayaannya sampai saat ini.
Tata kehidupan berbasis adat tradisi
Sekala Beghak juga masih dipertahankan dan dikembangkan. Terutama, Sekala
Beghak setelah dalam pengaruh “Empat Umpu” penyebar agama Islam dan lahirnya
masyarakat adat Sai Batin. Adat dan tradisi terus diacu dalam tata hidup
keseharian masyarakat pendukungnya dan dapat menjadi salah satu sumber
inspirasi dan motivasi pengembangan nilai budaya bangsa.
Hasil pembacaan atas segala yang ada
dalam masyarakat berkebudayaan Sai Batin di Lampung, memperlihatkan kedudukan
dan posisi penting Sekala Beghak sebagai satuan peradaban yang lengkap dan
terwariskan. Keberadaan Sekala Beghak tampak sangat benderang dalam peta
kebudayaan Sai Batin, sebagai satu tiang sangga utama pembangun masyarakat
Lampung. Bahkan, telah diakui, Sekala Beghak sebagai cikal bakal atau asal
muasal tertua leluhur “orang Lampung”. Bahkan keberadaan Skala Beghak, berada
dalam kisaran waktu strategis perubahan peradaban besar di Nusantara, dari
Hindu ke Islam.
Bukti kemashuran Sekala Beghak dirunut
melalui penuturan lisan turun-temurun dalam wewarah, tambo, dan dalung yang
mempertegas keberadaan Lampung dalam peta peradaban dan kebudayaan Nusantara.
Kata Lampung itu sendiri banyak yang menyebut berasal dari kata “anjak lampung”
atau “yang berasal dari ketinggian”. Pernyataan itu menunjukkan bahwa “orang
Lampung” berasal dari lereng gunung (tempat yang tinggi), yang dalam hal ini
Gunung Pesagi. Pendapat yang sama juga ditemukan dalam kronik perjalanan I
Tsing. Disebutkan kisah pengelana dari Tiongkok, I Tsing (635-713). Seorang
bhiksu yang berkelana dari Tiongkok (masa Dinasti Tang) ke India, dan kembali
lagi ke Tiongkok. Ia tinggal di Kuil Xi Ming dan beberapa waktu pernah tingal
di Chang’an. Ia menerjemahkan kitab agama Budha berbahasa Sanskerta ke dalam
bahasa Cina. Dalam perjalanannya itu, kronik menulis I Tsing singgah di
Sriwijaya pada tahun 671. Ia mengunjungi pusat-pusat studi agama Budha di
Sumatera, di antaranya selama dua bulan di Jambi dan setelah itu konon tinggal
selama 10 tahun di Sriwijaya (685-695). Dalam perjalanannya itu, I Tsing
dikabarkan menyebut nama suatu tempat dengan “To Lang Pohwang”. Kata “To Lang
Pohwang” merupakan bahasa Hokian, bahasa yang digunakan I Tsing.
Ada yang menerjemahkan “To Lang Pohwang” sebagai Tulang Bawang. Salah satunya
adalah Prof. Hilman Hadikusuma, ahli hukum adat dan budayawan Lampung tersebut
memberi uraian perihal sejarah Lampung, khususnya dalam menafsir To Lang
Pohwang sebagai Kerajaan Tulang Bawang. Disebut-sebut berada di sekitar
Menggala, ibukota Kabupaten Tulang Bawang saat ini. Meski bekas-bekas atau
artefaknya belum terlacak, garis silsilah raja dan istana, komunitas masyarakat
pewaris tradisi, dan banyak hal lagi yang masih tidak bisa ditemukan. Tidak
hanya dari sudut pandang semantis untuk memaknai kata “To Lang Pohwang”, namun
perlu pula didampingi kajian sosiologis dan arkeologis yang lebih mendalam.
Kata “To Lang Pohwang” berasal dari bahasa Hokian yang bermakna ‘orang atas’.
Orang atas banyak diartikan, orang-orang yang berada atau tinggal di atas
(lereng pegunungan, tempat yang tinggi). Dengan demikian penyebutan I Tsing “To
Lang Pohwang” memiliki kesamaan makna dengan kata “anjak lampung”, sama-sama
berarti orang yang berada atau tinggal di atas. Sedang atas yang dimaksud
adalah Gunung Pesagi.
Merujuk pada dua pendapat itu, maka penunjukan “orang atas” mengarah pada Suku Tumi yang tinggal di lereng Gunung Pesagi di Lampung Barat. Mereka inilah cikal-bakal Kerajaan Sekala Beghak. Kerajaan ini di kemudian hari ditundukkan oleh para penakluk, mujahid dan pendakwah Islam yang masuk ke Sekala Beghak dari Samudera Pasai melalui Pagaruyung Sumatera Barat. Di bawah Ratu Mumelar Paksi bersama putranya Ratu Ngegalang Paksi, disertai juga para Umpu, empat cucu Ratu Mumelar Paski. Mereka masuk untuk kemudian menguasai kawasan tersebut setelah menundukkan Suku Tumi. Para Umpu, keempat putra Ratu Ngegalang Paksi itulah yang kemudian melahirkan Paksi Pak Sekala Beghak dengan segala kebudayaannya, berkembang dan beranak pinak untuk kemudian menyebar ke seluruh Lampung dan sejumlah daerah. Karena kerajaan Sekala Beghak lama (animisme/dinamisme) telah dikalahkan dan dikuasai sepenuhnya oleh keempat Umpu keturunan Ratu Ngegalang Paksi, maka kemudian adat-istiadat dan kebudayaan yang berkembang dan dipertahankan hingga kini merupakan peninggalan Kerajaan Sekala Beghak Islam.
Merujuk pada dua pendapat itu, maka penunjukan “orang atas” mengarah pada Suku Tumi yang tinggal di lereng Gunung Pesagi di Lampung Barat. Mereka inilah cikal-bakal Kerajaan Sekala Beghak. Kerajaan ini di kemudian hari ditundukkan oleh para penakluk, mujahid dan pendakwah Islam yang masuk ke Sekala Beghak dari Samudera Pasai melalui Pagaruyung Sumatera Barat. Di bawah Ratu Mumelar Paksi bersama putranya Ratu Ngegalang Paksi, disertai juga para Umpu, empat cucu Ratu Mumelar Paski. Mereka masuk untuk kemudian menguasai kawasan tersebut setelah menundukkan Suku Tumi. Para Umpu, keempat putra Ratu Ngegalang Paksi itulah yang kemudian melahirkan Paksi Pak Sekala Beghak dengan segala kebudayaannya, berkembang dan beranak pinak untuk kemudian menyebar ke seluruh Lampung dan sejumlah daerah. Karena kerajaan Sekala Beghak lama (animisme/dinamisme) telah dikalahkan dan dikuasai sepenuhnya oleh keempat Umpu keturunan Ratu Ngegalang Paksi, maka kemudian adat-istiadat dan kebudayaan yang berkembang dan dipertahankan hingga kini merupakan peninggalan Kerajaan Sekala Beghak Islam.
Dalam tambo-tambo dan wewarah, “Empat Umpu” (Umpu Bejalan Diway; Umpu Belunguh;
Umpu Nyekhupa, dan Umpu Pernong) banyak disebut memiliki peran sentral dalam
membangun masyarakat adat Sai Batin, Paksi Pak Sekala Beghak. Pada periode
selanjutnya, penyebaran orang-orang Sekala Beghak ini dapat dirunut dari
kisah-kisah tentang kepergian mereka melalui sungai-sungai. Bahkan, sebagian
orang-orang Komering pun mengaku sebagai keturunan Sekala Beghak. Mereka
diperkirakan keturunan Pasukan Margasana yang dikirim Kerajaan Sekala Beghak ke
Komering untuk menghadang serangan sisa-sia prajurit Kerajaan Sriwijaya yang
telah runtuh sebelumnya. Seperti halnya keberadaan Suku Ranau sekarang, diakui
juga berasal dari Sekala Beghak, Lampung Barat. Di sekitar Danau Ranau di
Banding Agung, Ogan Komering Ulu itu semula dihuni Suku Abung yang setelah
kedatangan orang-orang Sekala Beghak pada abad ke-15 mereka pindah ke Lampung
Tengah.
Seperti dikutip Harian KOMPAS, (11
Desember 2006:36), pada abad 15 datang empat kelompok masyarakat yang menduduki
sekitar Danau Ranau. Di sebelah barat danau dihuni orang-orang yang datang dari
Pagaruyung Sumatera Barat dipimpin Dipati Alam Padang. Sementara itu, tiga
kelompok lainnya berasal dari Sekala Beghak. Tiga kelompok orang-orang Sekala
Beghak itu dipimpin Raja Singa Jukhu (dari Kepaksian Bejalan Diway), menempati
sisi timur danau. Di sisi timur danau pula, kelompok yang dipimpin Pangeran
Liang Batu dan Pahlawan Sawangan (berasal dari Kepaksian Nyekhupa) menempat.
Sementara kelompok yang dipimpin Umpu Sijadi Helau menempati sisi utara danau.
Empu Sijadi Helau yang disebut-sebut itu bukan Umpu Jadi putra Ratu Buay
Pernong, yang menjadi pewaris tahta Buay Pernong. Kemungkinan besar Umpu Sijadi
di daerah Ranau tersebut adalah keturunan Kepaksian Pernong yang meninggalkan
Kepaksian dan mendirikan negeri baru di Tenumbang kemudian menjadi Marga
Tenumbang.
Ketiga kelompok dari Sekala Beghak ini kemudian berbaur dan menempati kawasan
Banding Agung, Pematang Ribu, dan Warkuk. Sampai sekarang banyak orang Banding
Agung mengaku keturunan Paksi Pak Sekala Beghak. Di samping itu, ada
kisah-kisah perpindahan orang Sekala Beghak, sebagaimana ditulis dalam
Wikipedia (7/3/07: 04.02), yang dipimpin Pangeran Tongkok Podang, Puyan Rakian,
Puyang Nayan Sakti, Puyang Naga Berisang, Ratu Pikulun Siba, Adipati Raja
Ngandum dan sebagainya. Bahkan, daerah Cikoneng di Banten ada daerah yang
diberikan kepada Umpu Junjungan Sakti dari Kepaksian Belunguh atas
jasa-jasanya, dan banyak orang Sekala Beghak yang migrasi ke sana atau sebaliknya.
Kisah-kisah ini memperkuat suatu kenyataan bahwa Sekala Beghak tidak hanya
sebagai sumber muasal secara geografis, melainkan juga sumber kultur
masyarakat. Sekala Beghak adalah hulu suatu kebudayaan masyarakat. Dari Sekala
Beghak ini juga lahir huruf Lampung yaitu Kaganga. Bagi sebuah kebudayaan,
memiliki bahasa dan aksara sendiri merupakan bukti kebesaran masa lalu
kebudayaan tersebut. Di Indonesia hanya sedikit kebudayaan yang memiliki aksara
sendiri, yaitu Batak, Lampung (Sumatera Selatan), Jawa, Sunda, Bali, dan Bugis.
Dan kebudayaan yang memiliki aksara sendiri dapat dikategorikan sebagai
kebudayaan unggul. Karena bahasa merupakan alat komunikasi sekaligus simbol
kemajuan peradaban.
Semua aksara Nusantara tersebut berasal
dari bahasa Palava, yang berinduk pada bahasa Brahmi di India. Bahasa Palava
digunakan di India dan Asia Tenggara. Di Nusantara bahasa ini mengalami
penyebaran dan pengembangan, bermula dari bahasa Kawi, sebagai induk bahasa
Nusantara. Dari bahasa Kawi menjadi bahasa : Jawa (Hanacaraka), Bali, Surat
Batak, Lampung/Sumatera Selatan (Kaganga), dan Bugis.
Dari Kerajaan Sekala Beghak yang telah
memiliki unsur-unsur “kebudayaan lengkap” ini pulalah “ideologi” Sai Batin
dilahirkan dan disebarluaskan. Sampai saat ini, masih banyak yang bisa dibaca
dari jejak-jejak yang tertinggal. Baik dari jejak fisik maupun jejak yang tidak
kasat mata. Dari legenda, seni budaya, adat tata cara, bahasa lisan tulisan,
artefak benda peninggalan, hingga falsafah hidup masih ada runut rujukannya.
Dari Sekala Beghak itu di kemudian hari pengaruh budaya dan peradabannya
berkembang dan berpengaruh luas ke seluruh Lampung bahkan sampai ke Komering di
Sumatera Selatan sekarang. Tidak terhitung kemudian “pendukung budaya”-nya yang
tersebar di seluruh Indonesia pada masa kini.
Arti Logo
Perisai bersudut 5 (lima), Menggambarkan
bahwa masyrakat Lampung Barat sanggup mempertahankan cita-cita bangsa
Indonesia dan melanjutkan pembangunan serta memajukan daerah berdasarkan
Pancasila.
Siger (Topi Adat Khas Lampung Barat) ,Menggambarkan masyarakat yang mempunyai 4 (empat ) PAKSI atau BUAY ( Kelompok Adat), yaitu Buay Perenong, Buay Belunguh, Buay Jalang Diway dan Buay Nyerupa.
Pita berbentuk pintu gerbang bertuliskan “ Lampung Barat” dalam aksara Lampung Berwarna putih, menggambarkan masyarakat asli adalah masyarakat Lampung yang siap menerima kedatangan masyarakat pendatang dan bekerjasama dalam membangun daerah.
Jumlah biji kopi 24 buah, dengan daun 9 lember serta biji padi 91 butir, menggambarkan peresmian kabupaten lampung barat pada tanggal 24 september 1991
Bambu buntu beruas 5 ( lima), menggambarkan kabupaten lampung barat merupakan daerah tingkat II yang ke-Lima keberadaannya di Provinsi Lampung.
Perisai kecil yang didalamnya terdapat pegunungan, daun dan air, menggambarkan bahwa wilayah lampung barat merupakan dataran tinggi yang terdiri dari hutan lindung dan pertanian.
Air dengan 6 (enam) Alur, melambangkan bagian barat merupakan daerah pantai samudra Hindia dan disahkan sebagai kabupaten berdasarkan UU no 6/1991, juga melambangkan enam tatanan adat masyarakat asli.
Keris dan tombak, melambangkan senjata asli masyarakat yang dipergunakan untuk membela diri dari berbagai ancaman
Siger (Topi Adat Khas Lampung Barat) ,Menggambarkan masyarakat yang mempunyai 4 (empat ) PAKSI atau BUAY ( Kelompok Adat), yaitu Buay Perenong, Buay Belunguh, Buay Jalang Diway dan Buay Nyerupa.
Pita berbentuk pintu gerbang bertuliskan “ Lampung Barat” dalam aksara Lampung Berwarna putih, menggambarkan masyarakat asli adalah masyarakat Lampung yang siap menerima kedatangan masyarakat pendatang dan bekerjasama dalam membangun daerah.
Jumlah biji kopi 24 buah, dengan daun 9 lember serta biji padi 91 butir, menggambarkan peresmian kabupaten lampung barat pada tanggal 24 september 1991
Bambu buntu beruas 5 ( lima), menggambarkan kabupaten lampung barat merupakan daerah tingkat II yang ke-Lima keberadaannya di Provinsi Lampung.
Perisai kecil yang didalamnya terdapat pegunungan, daun dan air, menggambarkan bahwa wilayah lampung barat merupakan dataran tinggi yang terdiri dari hutan lindung dan pertanian.
Air dengan 6 (enam) Alur, melambangkan bagian barat merupakan daerah pantai samudra Hindia dan disahkan sebagai kabupaten berdasarkan UU no 6/1991, juga melambangkan enam tatanan adat masyarakat asli.
Keris dan tombak, melambangkan senjata asli masyarakat yang dipergunakan untuk membela diri dari berbagai ancaman
Bupati Lampung Barat :
Drs. Mukhlis Basri dan Wakilnya Drs. Hi. Dimyati Amin,
MM
sumber : http://kemendagri.go.id/pages/profil-daerah/kabupaten/id/18/name/lampung/1804/lampung-barat
0 komentar:
Posting Komentar